Langsung ke konten utama

Menyulap Perbedaan


Aku punya sudut pandang, begitu pun kamu. Kita sama-sama melihat, tapi dengan cara yang berbeda. Namun, pernahkah kita melihat persamaan ketimbang perbedan dari apa yang kita lihat?
Melihat perbedaan menjadi dominan ketika kita selalu mengedepankan ego. Rasanya, sensitif sekali jika aku mengemukakan A, tapi kamu bersikeras pada B. Kita jarang melihat irisan dan lebih terpaku pada perbedaan.
Apakah keadan ini akan terus kita biarkan? Mau sampai kapan?
Coba ubah sudut pandang kita. Apapun yang ada di dunia ini, bisa kita cari persamaanya ketimbang perbedaanya. Berhenti mencari-cari kesalahan orang lain, dan mulai untuk terbiasa mengoreksi diri kita terlebih dahulu. Mulailah belajar untuk melihat bagaimana dengan perbedaan, hidupmu bisa lebih berwarna. Daripada hanya sekedar menyebarkan kebencian yang tidak akan pernah ada ujungnya.
Keluarlah, lihatlah dunia dengan cara pandang yang luas. Hingga akhirnya kita bisa saling menghargai satu sama lain. Berbicara dengan tenang, berdialog tanpa tegang. Karena sebetulnya, orang lain akan menghargai kita ketika kita juga mencoba untuk menghargai mereka.
Komentar-komentar penuh kebencian di dunia maya, juga sorotan mata tidak suka di dunia nyata, sebenarnya tidak perlu terjadi. Pada akhirnya, kita akan tau bahwa di era modern ini, ada individu-individu yang belum siap dengan perbedaan. Banyak yang terlalu cepat menilai orang dan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Kontradiktif, memang. Perkembangan zaman yang seharusnya mempermudah kita menjadi individu yang cepat tanggap dalam ilmu, kadang malah menyulap kita menjadi insan yang cepat tersinggung hanya karena melihat orang lain berbeda pendapatnya dengan kita. Konklusinya? Kita harus merubahnya.
Kita bisa memulainya dari diri kita sendiri. Bagaimana memberi contoh agar menjadi masyarakat yang baik. Bagaimana agar kita sebagai individu, dapat menjadikan perbedan sebagai suatu celah untuk membangun persatuan. Mencontohkan bagaimana harusnya manusia menghargai manusia yang lain. Bagaimana agar menjadi masyarakat yang produktif menyebarkan kebaikan, bukan malah menebarkan kebencian.
Kita juga dapat melakukan pencerdasan kepada masyarakat mengenai perbedaan sudut pandang yang tidak seharusnya menimbulkan perpecahan. Sebenarnya, dengan menjaga cara bicara, kita bisa menjaga persatuan kita. Iya, berfikir sebelum berbicara. Menghargai orang lain. Karena begitulah Tuhan menciptakan akal untuk manusia. Yaitu agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Bepikir tentang tindakan baik yang seharusnya dilakukan, dan tindakan buruk yang tidak seharusnya dilakukan.
Mulai dari itu, kita bisa merubah dunia yang penuh warna ini menjadi taman-taman yang nyaman, dengan segala perbedan yang ada, kita dapat melihat indahnya hidup di dalam perbedaan tanpa adanya perpecahan. Aku tetap dengan dudut pandangku, begitupun kamu dengan sudut pandangmu. Kita bisa bersama dengan selalu menghargai sudut pandang masing-masing. Dan ketika saling berpapasan, bukan tatapan kebencian yang kita suguhkan, melainkan senyum tanda penghargaan. Saling menyapa satu sama lain. Kita mencipta kebahagiaan untuk diri sendiri, juga untuk orang lain. Maka bangunlah. Berpikirlah. Jadilah insan yang sebenar-benarnya insan. Yang selalu berusaha untuk menghargai orang lain dan juga tetap berpegang pada prinsip hidup kita. Percayalah, orang-orang yang selalu berusaha menebarkan kebaikan, tidak akan terkikis oleh waktu.
Mari kita melihat perbedaan sebagai peluang. Bukan sebagai ancaman. Mari kita sama-sama membuka mata, sama-sama tersenyum manis. Bagaimanapun pandanganku, dan bagaimanapun pandanganmu, tugas kita adalah saling menghargai satu sama lain.
Semoga kita berhasil.

Pontianak, 1 Oktober 2017

Ra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Komunikasi : Tradisi Kritis

Apa sebenarnya tradisi kritis dalam teori komunikasi? Tradisi kritis merupakan asumsi dari sekian banyak teori kritis yang menyebutkan bahwa di dalam masyarakat, banyak terjadi kesenjangan sosial. Dengan hadirnya tradisi kritis sebagai bagian dari teori komunikasi, para teoritis mengarapkan tradisi ini dapat berguna untuk pemecahan masalah dalam bentuk komunikasi untuk kesenjangan yang terjadi, atau setidaknya, kita dapat mengetahui mengapa kesenjangan itu bisa terjadi. Berangkatnya tradisi kritis, bisa kita lihat dari mana tradisi ini mulai berkembang. Tradisi kritis muncul dalam kelompok ilmuwan Jerman yang biasa dikenal dengan sebutan “Frankfurt School”. Para teoritisinya ternyata mengadopsi pemikiran Marxis. Tidak mengherankan jika para teoritis menjadikan tradisi ini sebagai tradisi yang banyak perbandingannya. Perkembangan tentang suatu kritik sosial umum juga diprakarsai oleh kelompok ini. Dalam kritik sosial tersebut, mereka sepakat bahwa komunikasi menjadi titik utama dal...

Teori Komunikasi : Perspektif Pragmatis

Ketika kita sudah mengenal tradisi dalam komunikasi, dan juga beberapa perspektif komunikasi, nyatanya kita juga harus berkenalan dengan salah satu perspektif yang terbilang baru dalam komunikasi. Yaitu perspektif pragmatis. Dilihat dari asal katanya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pragmatis mempunyai arti bersifat praktis dan berguna bagi umum ; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan) ; mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. Lalu, apa itu perspektif pragmatis dalam teori komunikasi? Berdasarkan pengertian kata pragmatis diatas, kita dapat mengetahui bahwa perspektif ini tidak bersifat subjektif. Dari arti katanya saja, kita dapat melihat bahwa berfikir secara pragmatis berarti berfikir secara umum. Adapun dalam komunikasi, berarti perspektif pragmatis akan membawa kita melihat komunikasi tidak hanya dengan satu sudut pandang saja. Melainkan dari berbagai sudut pandang. Melalui perspektif pragmatis, kita jga dapat mengetahui b...

Teori Komunikasi : Tradisi Sosiopsikologis

Dalam hidup ini, terlalu banyak yang kita kerjakan, apalagi yang kita dapatkan. Semua informasi yang simpang-siur, bisa jadi berbentuk fakta, atau bisa juga berbentuk opini. Dari mulai diskusi-diskusi yang kita lakukan dengan teman sekolah, kuliah, kerja, bahkan dengan keluarga kita sekalipun. Semua yang kita dapat, hubungan yang kita jalani dengan orang lain, juga bermacam-macam situasi dan kondisi yang kita alami, pada akhirnya kita pandang dengan memakai sudut pandang kita sendiri, atau biasa kita kenal dengan subjektivitas. Kita sering menilai sesuatu dengan penilaian kita sendiri sebagai pelaku komunikasi. Dalam tradisi ini, kita juga tidak terlepas dalam permasalahan pokok, yaitu bagaimana kita mengolah informasi dan menyusunnya ke dalam sistem kognitif. Terlalu banyak informasi yang kita dapatkan setiap hari, bentuknya bisa fakta atau bahkan nilai dan berupa opini. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita mengolah informasi tersebut? Apa yang kita lakukan ketika mendapatkan inf...